Rabu, 17 Mei 2017

Pak Ponjen, Tradisi dalam Pernikahan Masyarakat Troso



Troso – Tradisi Jawa “Pak Ponjen” menjadi salah satu ritual adat pernikahan Jawa yang dilakukan di desa Troso baru-baru ini. (20/04/2017) Orang Jawa menyebutnya Pak Ponjen, berasal dari kata bahasa Arab فَازَ يَفُوْزُ فَوْزًا  yang memiliki arti kemenangan, sukses dan berhasil. Ma’ruf (39 th) mengartikan Pak Ponjen merupakan tradisi Jawa yang memiliki tujuan mendo’akan dan memberi bekal atas selesainya orang tua mengantarkan anak-anaknya ke jenjang pernikahan dari anak paling sulung hingga paling bungsu. Pelaksanaannya pun pada acara pernikahan anak bungsu (terakhir) sebagai tanda berakhirnya sebuah keluarga merayakan pesta pernikahan atau mantu.
Tradisi yang sudah lama di-uri-uri ini selalu dinanti para pe-ngiring manten untuk menyak-sikan dan ikut serta meramai-kannya. Banyak hal menarik dari tradisi ini, mulai dari ramainya peserta, gelak canda tawa yang menghiasi suasana, hingga peristiwa lucu seperti saling sodok antar peserta (anak-anak hingga dewasa bahkan orang tua), saling injak, saling cakar (tanpa kesengajaan) merebutkan recehan rupiah sehingga tak lagi ada perbedaan antara kaya dan miskin. Semua peserta bersatu-padu dalam suasana bahagia seperti kebahagiaan sepasang manten beserta keluarganya.
Ma’ruf menjelaskan bahwa Pak Ponjen diawali dengan ritual mengitari gentong atau paso berisi air yang ditutup tampah sebanyak tiga putaran. Ritual ini sebagai simbol memberi bekal kepada masing-masing pasangan manten dari sulung sampai bungsu yang semuanya telah dinikahkan. Ritual dipandu oleh pemuka adat setempat dengan diiringi sholawat nabi sebagai realisasi keislaman. Sebelum mengitari gentong, semua pasangan (secara berurutan dari pasangan anak paling sulung hingga paling bungsu) yang telah dinikahkan saling memegang ujung baju. Sedangkan orang tua dari anak-anak tersebut memimpin perjalanan mengitari gentong. Sembari dipecuti, irama sholawat diperdengungkan pada prosesi pertama ini. Dipecuti ini memiliki makna bahwa agar pembangunan rumah tangga disertai dengan semangat yang membara (baik semangat dalam bekerja maupun semangat hidup). Sebagai simbol semangat, “proses mecuti sebaiknya dilakukan dengan keras.” Imbuh Ma’ruf.
Prosesi kedua dilakukan saat setelah mengitari gentong, anak bungsu yang telah dinikahkan segera menendang gentong berisi air hingga tumpah. Tak lama pemuka adat menyebar (ngepyurke) uang sebagai simbol (bekal orang tua terhadap anak) dibangunnya sebuah rumah tangga agar tumbuh harmonis. Cara penyebaran uang dilakukan dengan arah ke depan dengan tujuan tolak-balak, menolak sangkakala dan hal-hal yang dapat mengganggu kehidupan rumah tangga, Ucap Ma’ruf. Uang tersebut dicampur dengan beras kuning dan disebar sebagai tanda rizqi yang perlu dishodaqahkan. Banyak warga (peserta) berebut untuk mendapatkan recehan rupiah dengan suasana ramai dan penuh kebahagiaan, seperti kebahagiaan yang dialami pasangan yang baru menikah.
Sebagai akhir prosesi adat Jawa bertajuk Islam, ditutuplah acara ini dengan do’a memohon keselamatan. Do’a dapat dilakukan diawal maupun diakhir acara. Ma’ruf menambahkan:
هُوَالْأَوَّلُ وَالْآخِرُ وَالضَّا هِرُ وَهُوَ عَلى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْر
Permohonan do’a keselamatan dapat dilakukan di awal, di tengah maupun di akhir. Pada intinya adalah meminta keselamatan atas berakhirnya perayaan pesta pernikahan atau mantu.
Dalam Info Seputar Jepara (02/07/2013) disebutkan bahwa Pak Ponjen merupakan tradisi Jawa yang beradaptasi dengan Islam sebagai agama mayoritas di Jepara. Budaya Jawa yang animistis magis bertemu dengan unsur budaya Islam yang monotheistis, terjadilah pergumulan yang menghasilkan Jawa Islam yang sinkretis dan Islam yang puritan. Di kalangan Jawa Islam inilah tumbuh dan berkembang perpaduan budaya Islam Jawa yang memiliki ciri luar budaya itu menggunakan simpul Islam, tetapi ruh budayanya adalah Jawa Sinkretis. Islam digambarkan sebagai wadah sedang isinya adalah Jawa.

Laporan Hasil Interview dan Observasi
Budaya Jawa di Troso Pecangaan Jepara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar