Selasa, 28 Februari 2017

Perubahan Kurikulum, Tak Diimbangi Perubahan Mindset Pendidik maupun Fasilitas Sekolah



Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (pasa 1 ayat 19) menyatakan bahwa Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan,isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan. Setidaknya kurikulum memegang peranan peting dalam aspek konservatif, kreatif maupun kritis dan evaluatif. Ketiga peranan inilah yang akan menentukan arah dan tujuan dari proses suatu pembelajaraan.

Empat pilar pendidikan yang dicanangkan oleh UNESCO, yaitu: learning to know (belajar mengetahui), learning  to do (belajar melakukan sesuatu), learning to be (belajar menjadi sesuatu) dan learning to live together (belajar hidup bersama) menjadi target setiap negara untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusianya. Beragam cara dilakukan guna tercapainya tujuan pendidikan yang termuat dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yaitu untuk mengembangkan potensi peserta didik agar mampu menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Salah satunya adalah pengembangan kurikulum 2013 yang telah didesain di Indonesia.
Perubahan kurikulum tingkat satuan pendidikan tahun 2006 (KTSP 2006) ke kurikulum 2013, menjai persoalan tersendiri yang terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia. Beberapa hal perlu disoroti dalam menanggapi masalah tersebut, diantaranya termuat dalam okezone news (11/12/2014) yaitu:
1.      Tidak ada kajian terhadap penerapan Kurikulum 2006 yang berujung pada kesimpulan urgensi perpindahan kepada Kurikulum 2013.
2.      Tidak ada evaluasi menyeluruh terhadap uji coba penerapan Kurikulum 2013 setelah setahun penerapan di sekolah-sekolah yang ditunjuk.
3.      Kurikulum sudah diterapkan di seluruh sekolah di bulan Juli 2014, sementara instruksi untuk melakukan evaluasi baru dibuat 14 Oktober 2014, yaitu enam hari sebelum pelantikan presiden baru (Peraturan Menteri no. 159).
4.      Penyeragaman tema di seluruh kelas, sampai metode, isi pembelajaran dan buku yang bersifat wajib sehingga terindikasi bertentangan dengan UU Sisdiknas.
5.      Penyusunan konten Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar yang tidak seksama sehingga menyebabkan ketidak-selarasan.
6.      Kompetensi Spiritual dan Sikap terlalu dipaksakan sehingga menganggu substansi keilmuan dan menimbulkan kebingungan dan beban administratif berlebihan bagi para guru.
7.      Metode penilaian sangat kompleks dan menyita waktu sehingga membingungkan guru dan mengalihkan fokus dari memberi perhatian sepenuhnya pada siswa.
8.      Ketidaksiapan guru menerapkan metode pembelajaran pada Kurikulum 2013 yang menyebabkan beban juga tertumpuk pada siswa sehingga menghabiskan waktu siswa di sekolah dan di luar sekolah.
9.      Ketergesa-gesaan penerapan menyebabkan ketidaksiapan penulisan, pencetakan dan peredaran buku sehingga menyebabkan berbagai permasalahan di ribuan sekolah akibat keterlambatan atau ketiadaan buku.
10.  Berganti-gantinya regulasi kementerian akibat revisi yang berulang.
Implementasi kurikulum 2013 dibeberapa sekolah memang memiliki beberapa kendala. Salah guru (Slamet Santoso/ 41 th.) IPA MTs. Fatahillah Bringin megungkapkan bahwa KTSP lebih simpel dan lebih mudah. Sedangkan gambaran kurikulum 2013 terlalu rumit. Mungkin disebabkan belum adanya kejelasan implementasi sesuai rancangan yang diinginkan pemerintah. Akibatnya perbedaan pemahaman pendidik menjadikan K-13 dianggap menyusahkan guru. Akan tetapi jika K-13 telah diuji dan digodok dulu sebelumnya, pastinya tidak akan ada kesalah pemahaman antar pendidik yang dapat meyebabkan K-13 harus direfisi untuk kesekian kalinya.
Grand design (desain induk) kurkulum 2013 yang disosialisasikan di berbagai wilayah, ternyata masih meninggalkan miskonsepsi mengenai implementasinya. Hal ini terkendala pada singkatnya waktu dalam memaparkan sejelas-jelasnya konsep kurikulum 2013. Sehingga masih terdapat ketidak singkronan antara pemahaman guru satu dengan guru lainnya. Akibatnya kurkulum 2013 dianggap rumit dan  merepotkan oleh sebagian guru. Menanggapi problema yang muncul, setidaknya pemerintah berlaku sigap aggar kurikulum 2013 dapat diimplementasikan dengan baik.
Mutu Pendidik
Pada dasarnya kesepuluh masalah di atas terjadi bukan karena salah menteri pendidikan, guru, maupun siswa. Akan tetapi masalah tersebut muncul akibat beragamnya kondisi sekolah yang ada di seluruh Indonesia. Perubahan kurikulum di mana pun, sebetulnya hampir sama. selalu membutuhkan penyesuaian pola pikir para pemangku kepentingan (stake holder). Demikian pula yang terjadi pada Kurikulum 2013 ini, ia hanya mungkin sukses bila ada perubahan paradigma atau lebih tepatnya mindset para guru dalam proses pembelajaran. Hal itu mengingat substansi perubahan dari Kurikulum 2006 (KTSP) ke Kurikulum 2013 ini adalah perubahan proses pembelajaran, dari pola pembelajaran ala bank, yaitu guru menulis di papan tulis dan murid mencatat di buku serta guru menerangkan sedangkan murid mendengarkan menjadi proses pembelajaran yang lebih mengedepankan murid untuk melakukan pengamatan, bertanya, mengeksplorasi, mencoba, dan mengekspresikannya. Proses pembelajaran yang mendorong siswa untuk aktif tersebut hanya mungkin terwujud bila mindset guru telah berubah. Mereka tidak lagi memiliki mindset bahwa mengajar harus di dalam kelas dan menghadap ke papan tulis. Mengajar bisa dilakukan di perpustakaan, kebun, tanah lapang, atau juga di sungai. Media pembelajaran pun tidak harus buku, alat peraga, atau komputer. Tanam-tanaman dan pohon di kebun, sungai, dan sejenisnya juga dapat menjadi media pembelajaran.
Mengubah mindset guru seperti itu tidak mudah, karena sudah berpuluh tahun guru mengajar dengan model ala bank. Tidak mudah bila tiba-tiba guru harus berubah menjadi seorang fasilitator dan motivator. Mengubah mindset guru itulah pekerjaan rumah tersendiri bagi Kemendikbud. dalam mengimplementasikan Kurikulum 2013. Kegagalan mengu-bah mindset guru akan menjadi sumber kegagalan implementasi Kurikulum 2013. Persoalannya adalah perubahan mindset guru tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat, melainkan butuh waktu bertahun-tahun, padahal Kurikulum 2013 itu harus dilaksanakan dalam waktu secepatnya. Komprominya adalah persoalan teknis dilatihkan dalam waktu satu minggu, tapi perubahan mindset harus dilakukan terus-menerus dengan cara mendorong guru untuk terus belajar. Pada intinya kurikulum 2013 menuntut guru untuk lebih kreatif dan inovatif dalam proses pengajaran. .
Fasilitas Sekolah
Dalam dunia pendidikan, tidak semua sekolah memiliki fasilitas yang memadai, utamanya sekolah di daerah. Kurikulum 2013, mengedepankan kinerja siswa. Guru hanya sebagai fasilitator dan motivator. Pada mapel pelajaran IPA ada banyak sekali praktik yang jelas membutuhkan laboratorium. Slamet Santoso mengatakan dibutuhkan laboratorium dengan tempat yang luas dan alat-alatnya juga harus memadai untuk dapat menerapkan kurikulum 2013. Contoh saja keadaan di MTs. Fatahillah Bringin, laboratorium untuk pembelajaran IPA digunakan sebagai kelas. Problem ini menjadikan MTs. Fatahillah belum bisa menerapkan kurikulum 2013. Alternatifnya adalah persiapan menuju K-13 yang diimbangi dengan pemenuhan semua fasilitas yang mendukung dalam kegiatan pembelajaran.
Selain problema yang di alami MTs. Fatahillah, banyak juga sekolah yang mengalami hal serupa. Untuk dapat memenuhi semua fasilitas tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi sekolah berbasis swasta. Kemungkinan besar adalah akan memberatkan orang tua murid karena semua fasilitas sekolah dilimpahkan pada pembayaran SPP yang melambung tinggi. Pemerintah sanatlah berperan penting dalam perubahan kurikulum ini. Perubahan KTSP 2006 ke K-13 perlu diimbangi dengan pemenuhan fasilitas agar proses pembelajaran dapat berjalan dengan lancar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar