Rabu, 17 Mei 2017

Hukum Pemimpin Islam Meresmikan Tempat Peribadatan Non-Islam

BATSUL MASAIL

Deskripsi Masalah :
Pemimpin adalah seseorang yang harus mengayomi dan melindungi masyarakatnya walaupun berbeda-beda suku dan agama. Namun dalam prateknya terkadang atau bahkan sering seorang pemimpin dihadapkan dengan permasalahan – permasalahan sulit yang berhubungan dengan akidahnya. Seperti halnya harus ikut serta atau bahkan meresmikan atau mentandatangani pembangunan atau tempat peribadatan non muslim seperti gereja, kastil, wihara dan lain sebagainnya.
Pertanyaan :
Apa hukumnya apabila seorang pemimpin muslim ikut meresmikan atau mentandatangani pembangunan atau tempat peribadatan non muslim ?
Jawaban :
Boleh pemimpin muslim meresmikan bangunan atau tempat peribadatan non muslim jika ia tidak beri’tiqod perbuatan non mulim tersebut adalah benar atau meridhoinya.
Referensi :
1. Tafsir Munir hal 94 juz 1
(لا يتخذالمؤمون الكافرين اولياء من دون المؤمنين) اي لا يوال المؤمنون الكافرين لااستقلالا ولااشترا كامع المؤمنين وانما الجائز لهم قصرالموالاة والمحبة علي المؤمنين بان يوالي بعضهم بعضا فقد واعلم ان كون المؤمن مواليا للكافر يحتمل ثلاثة اوجه  احدها ان يكون راضيا بكفره ويتولاه لاجله وهذا ممنوع لان الرضا بالكفر كفر. وثانيها المعاشرة الجميلة في الدنيا بحسب الظاهر وذلك غير ممنوع . وثالثها الركون الى الكفار والمعونة والنصرة اما بسبب القرابة او بسبب المحبة مع اعتقاد ان دينه باطل فهدا لا يوجب الكفر
Dan ketahuilah hendaklah seorang mu’min itu sebagai penolong bagi orang kafir mencangkup tiga pendapat.
a. Salah satunya adalah apabila mu’min ridha dengan kekufurannya dan menolongnya, jika seperti ini maka di larang  karena ridho dengan kekufuran berarti kafir.
b. Pendapat yang kedua adalah pergaulan yang baik dalam masalah dunia dengan pekerjaan yang jelas maka jika seperti itu tidak dilarang.
c. Pendapat yang ketiga kepercayaan kepada orang-orang kafir dan pertolongan apabila dengan sebab kerabat atau dengan sebab kecintaan disertai kepercayaan bahwa sesungguhnya agamannya adalah salah maka jika seperti itu tidak menyebabkannya kafir. 


2. Kaidah Fiqih
  درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
“ menolak mudharat (bahaya) lebih didahulukan dari mengambil manfaat ”
تصرف الامام على الراعية منوط بالمصلحة
“kebijakan seorang pemimpin kepada rakyatnya bergantung kepada mashlahah”
3. Kifayatul Akhyar hal 105 juz 2
و يشترط فى الاكراه كون المكره بكسر الراء غالبا قادرا على تحقيق ما هدد به المكره بفتح الراء, وقدرته اما بولاية او تغلب او فرط هجوم, ويشترط كون المكره مغلوبا عاجزا عن الدفع بهرب مقاموة او استغا ثة بغيره, و يشترط ايضا ان يغلب على ظنه انه امتنع مما اكرهه عليه ان يوقع به المكروه, والصحيح انه لا يشترط تنجيز ما توعده به بل يكفي التوعيد
”Disyaratkan di dalam paksaan yaitu mukrih (orang yang memaksa) harus mampu dan kuasa untuk mengungkapkan sesuatu yang menakut-nakuti orang yang mukrah (orang yang dipaksa) . Dan kekuasaannya mukrih adakalahnya berupa kekuasaan atau menguasai atau menghilangkan penyerangan. Dan disyaratkan mukrah (orang yang dipaksa) harus dikalahkan , lemah untuk menolak, melarikan diri, melawan atau meminta pertolongan kepada orang lain. Disyaratkan pula hendaklah paksaan itu mengalahkan perasangka mukrah bahwa sesungguhnya ia dalam keadaan dicegah dari sesuatu yang telah dipaksa oleh mukrih . menurut pendapat yang shohih jika seperti itu tidak disyaratkan untuk meneruskan sesuatu yang telah mengancam mukrah akan tetapi cukuplah ancaman tersubut”.  

Penulis: Fikri Gopari
Mahasiswa Pendidikan Agama Islam Semester 4
sekaligus Pengurus Departemen Tarbiyah dan Ubudiyyah Periode 2017/ 2018
Ponpes. Raudlatut Thalibin Tugrejo Tugu Kota Semarang

Pak Ponjen, Tradisi dalam Pernikahan Masyarakat Troso



Troso – Tradisi Jawa “Pak Ponjen” menjadi salah satu ritual adat pernikahan Jawa yang dilakukan di desa Troso baru-baru ini. (20/04/2017) Orang Jawa menyebutnya Pak Ponjen, berasal dari kata bahasa Arab فَازَ يَفُوْزُ فَوْزًا  yang memiliki arti kemenangan, sukses dan berhasil. Ma’ruf (39 th) mengartikan Pak Ponjen merupakan tradisi Jawa yang memiliki tujuan mendo’akan dan memberi bekal atas selesainya orang tua mengantarkan anak-anaknya ke jenjang pernikahan dari anak paling sulung hingga paling bungsu. Pelaksanaannya pun pada acara pernikahan anak bungsu (terakhir) sebagai tanda berakhirnya sebuah keluarga merayakan pesta pernikahan atau mantu.
Tradisi yang sudah lama di-uri-uri ini selalu dinanti para pe-ngiring manten untuk menyak-sikan dan ikut serta meramai-kannya. Banyak hal menarik dari tradisi ini, mulai dari ramainya peserta, gelak canda tawa yang menghiasi suasana, hingga peristiwa lucu seperti saling sodok antar peserta (anak-anak hingga dewasa bahkan orang tua), saling injak, saling cakar (tanpa kesengajaan) merebutkan recehan rupiah sehingga tak lagi ada perbedaan antara kaya dan miskin. Semua peserta bersatu-padu dalam suasana bahagia seperti kebahagiaan sepasang manten beserta keluarganya.
Ma’ruf menjelaskan bahwa Pak Ponjen diawali dengan ritual mengitari gentong atau paso berisi air yang ditutup tampah sebanyak tiga putaran. Ritual ini sebagai simbol memberi bekal kepada masing-masing pasangan manten dari sulung sampai bungsu yang semuanya telah dinikahkan. Ritual dipandu oleh pemuka adat setempat dengan diiringi sholawat nabi sebagai realisasi keislaman. Sebelum mengitari gentong, semua pasangan (secara berurutan dari pasangan anak paling sulung hingga paling bungsu) yang telah dinikahkan saling memegang ujung baju. Sedangkan orang tua dari anak-anak tersebut memimpin perjalanan mengitari gentong. Sembari dipecuti, irama sholawat diperdengungkan pada prosesi pertama ini. Dipecuti ini memiliki makna bahwa agar pembangunan rumah tangga disertai dengan semangat yang membara (baik semangat dalam bekerja maupun semangat hidup). Sebagai simbol semangat, “proses mecuti sebaiknya dilakukan dengan keras.” Imbuh Ma’ruf.
Prosesi kedua dilakukan saat setelah mengitari gentong, anak bungsu yang telah dinikahkan segera menendang gentong berisi air hingga tumpah. Tak lama pemuka adat menyebar (ngepyurke) uang sebagai simbol (bekal orang tua terhadap anak) dibangunnya sebuah rumah tangga agar tumbuh harmonis. Cara penyebaran uang dilakukan dengan arah ke depan dengan tujuan tolak-balak, menolak sangkakala dan hal-hal yang dapat mengganggu kehidupan rumah tangga, Ucap Ma’ruf. Uang tersebut dicampur dengan beras kuning dan disebar sebagai tanda rizqi yang perlu dishodaqahkan. Banyak warga (peserta) berebut untuk mendapatkan recehan rupiah dengan suasana ramai dan penuh kebahagiaan, seperti kebahagiaan yang dialami pasangan yang baru menikah.
Sebagai akhir prosesi adat Jawa bertajuk Islam, ditutuplah acara ini dengan do’a memohon keselamatan. Do’a dapat dilakukan diawal maupun diakhir acara. Ma’ruf menambahkan:
هُوَالْأَوَّلُ وَالْآخِرُ وَالضَّا هِرُ وَهُوَ عَلى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْر
Permohonan do’a keselamatan dapat dilakukan di awal, di tengah maupun di akhir. Pada intinya adalah meminta keselamatan atas berakhirnya perayaan pesta pernikahan atau mantu.
Dalam Info Seputar Jepara (02/07/2013) disebutkan bahwa Pak Ponjen merupakan tradisi Jawa yang beradaptasi dengan Islam sebagai agama mayoritas di Jepara. Budaya Jawa yang animistis magis bertemu dengan unsur budaya Islam yang monotheistis, terjadilah pergumulan yang menghasilkan Jawa Islam yang sinkretis dan Islam yang puritan. Di kalangan Jawa Islam inilah tumbuh dan berkembang perpaduan budaya Islam Jawa yang memiliki ciri luar budaya itu menggunakan simpul Islam, tetapi ruh budayanya adalah Jawa Sinkretis. Islam digambarkan sebagai wadah sedang isinya adalah Jawa.

Laporan Hasil Interview dan Observasi
Budaya Jawa di Troso Pecangaan Jepara

Selasa, 28 Februari 2017

Perubahan Kurikulum, Tak Diimbangi Perubahan Mindset Pendidik maupun Fasilitas Sekolah



Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (pasa 1 ayat 19) menyatakan bahwa Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan,isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan. Setidaknya kurikulum memegang peranan peting dalam aspek konservatif, kreatif maupun kritis dan evaluatif. Ketiga peranan inilah yang akan menentukan arah dan tujuan dari proses suatu pembelajaraan.

Empat pilar pendidikan yang dicanangkan oleh UNESCO, yaitu: learning to know (belajar mengetahui), learning  to do (belajar melakukan sesuatu), learning to be (belajar menjadi sesuatu) dan learning to live together (belajar hidup bersama) menjadi target setiap negara untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusianya. Beragam cara dilakukan guna tercapainya tujuan pendidikan yang termuat dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yaitu untuk mengembangkan potensi peserta didik agar mampu menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Salah satunya adalah pengembangan kurikulum 2013 yang telah didesain di Indonesia.
Perubahan kurikulum tingkat satuan pendidikan tahun 2006 (KTSP 2006) ke kurikulum 2013, menjai persoalan tersendiri yang terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia. Beberapa hal perlu disoroti dalam menanggapi masalah tersebut, diantaranya termuat dalam okezone news (11/12/2014) yaitu:
1.      Tidak ada kajian terhadap penerapan Kurikulum 2006 yang berujung pada kesimpulan urgensi perpindahan kepada Kurikulum 2013.
2.      Tidak ada evaluasi menyeluruh terhadap uji coba penerapan Kurikulum 2013 setelah setahun penerapan di sekolah-sekolah yang ditunjuk.
3.      Kurikulum sudah diterapkan di seluruh sekolah di bulan Juli 2014, sementara instruksi untuk melakukan evaluasi baru dibuat 14 Oktober 2014, yaitu enam hari sebelum pelantikan presiden baru (Peraturan Menteri no. 159).
4.      Penyeragaman tema di seluruh kelas, sampai metode, isi pembelajaran dan buku yang bersifat wajib sehingga terindikasi bertentangan dengan UU Sisdiknas.
5.      Penyusunan konten Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar yang tidak seksama sehingga menyebabkan ketidak-selarasan.
6.      Kompetensi Spiritual dan Sikap terlalu dipaksakan sehingga menganggu substansi keilmuan dan menimbulkan kebingungan dan beban administratif berlebihan bagi para guru.
7.      Metode penilaian sangat kompleks dan menyita waktu sehingga membingungkan guru dan mengalihkan fokus dari memberi perhatian sepenuhnya pada siswa.
8.      Ketidaksiapan guru menerapkan metode pembelajaran pada Kurikulum 2013 yang menyebabkan beban juga tertumpuk pada siswa sehingga menghabiskan waktu siswa di sekolah dan di luar sekolah.
9.      Ketergesa-gesaan penerapan menyebabkan ketidaksiapan penulisan, pencetakan dan peredaran buku sehingga menyebabkan berbagai permasalahan di ribuan sekolah akibat keterlambatan atau ketiadaan buku.
10.  Berganti-gantinya regulasi kementerian akibat revisi yang berulang.
Implementasi kurikulum 2013 dibeberapa sekolah memang memiliki beberapa kendala. Salah guru (Slamet Santoso/ 41 th.) IPA MTs. Fatahillah Bringin megungkapkan bahwa KTSP lebih simpel dan lebih mudah. Sedangkan gambaran kurikulum 2013 terlalu rumit. Mungkin disebabkan belum adanya kejelasan implementasi sesuai rancangan yang diinginkan pemerintah. Akibatnya perbedaan pemahaman pendidik menjadikan K-13 dianggap menyusahkan guru. Akan tetapi jika K-13 telah diuji dan digodok dulu sebelumnya, pastinya tidak akan ada kesalah pemahaman antar pendidik yang dapat meyebabkan K-13 harus direfisi untuk kesekian kalinya.
Grand design (desain induk) kurkulum 2013 yang disosialisasikan di berbagai wilayah, ternyata masih meninggalkan miskonsepsi mengenai implementasinya. Hal ini terkendala pada singkatnya waktu dalam memaparkan sejelas-jelasnya konsep kurikulum 2013. Sehingga masih terdapat ketidak singkronan antara pemahaman guru satu dengan guru lainnya. Akibatnya kurkulum 2013 dianggap rumit dan  merepotkan oleh sebagian guru. Menanggapi problema yang muncul, setidaknya pemerintah berlaku sigap aggar kurikulum 2013 dapat diimplementasikan dengan baik.
Mutu Pendidik
Pada dasarnya kesepuluh masalah di atas terjadi bukan karena salah menteri pendidikan, guru, maupun siswa. Akan tetapi masalah tersebut muncul akibat beragamnya kondisi sekolah yang ada di seluruh Indonesia. Perubahan kurikulum di mana pun, sebetulnya hampir sama. selalu membutuhkan penyesuaian pola pikir para pemangku kepentingan (stake holder). Demikian pula yang terjadi pada Kurikulum 2013 ini, ia hanya mungkin sukses bila ada perubahan paradigma atau lebih tepatnya mindset para guru dalam proses pembelajaran. Hal itu mengingat substansi perubahan dari Kurikulum 2006 (KTSP) ke Kurikulum 2013 ini adalah perubahan proses pembelajaran, dari pola pembelajaran ala bank, yaitu guru menulis di papan tulis dan murid mencatat di buku serta guru menerangkan sedangkan murid mendengarkan menjadi proses pembelajaran yang lebih mengedepankan murid untuk melakukan pengamatan, bertanya, mengeksplorasi, mencoba, dan mengekspresikannya. Proses pembelajaran yang mendorong siswa untuk aktif tersebut hanya mungkin terwujud bila mindset guru telah berubah. Mereka tidak lagi memiliki mindset bahwa mengajar harus di dalam kelas dan menghadap ke papan tulis. Mengajar bisa dilakukan di perpustakaan, kebun, tanah lapang, atau juga di sungai. Media pembelajaran pun tidak harus buku, alat peraga, atau komputer. Tanam-tanaman dan pohon di kebun, sungai, dan sejenisnya juga dapat menjadi media pembelajaran.
Mengubah mindset guru seperti itu tidak mudah, karena sudah berpuluh tahun guru mengajar dengan model ala bank. Tidak mudah bila tiba-tiba guru harus berubah menjadi seorang fasilitator dan motivator. Mengubah mindset guru itulah pekerjaan rumah tersendiri bagi Kemendikbud. dalam mengimplementasikan Kurikulum 2013. Kegagalan mengu-bah mindset guru akan menjadi sumber kegagalan implementasi Kurikulum 2013. Persoalannya adalah perubahan mindset guru tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat, melainkan butuh waktu bertahun-tahun, padahal Kurikulum 2013 itu harus dilaksanakan dalam waktu secepatnya. Komprominya adalah persoalan teknis dilatihkan dalam waktu satu minggu, tapi perubahan mindset harus dilakukan terus-menerus dengan cara mendorong guru untuk terus belajar. Pada intinya kurikulum 2013 menuntut guru untuk lebih kreatif dan inovatif dalam proses pengajaran. .
Fasilitas Sekolah
Dalam dunia pendidikan, tidak semua sekolah memiliki fasilitas yang memadai, utamanya sekolah di daerah. Kurikulum 2013, mengedepankan kinerja siswa. Guru hanya sebagai fasilitator dan motivator. Pada mapel pelajaran IPA ada banyak sekali praktik yang jelas membutuhkan laboratorium. Slamet Santoso mengatakan dibutuhkan laboratorium dengan tempat yang luas dan alat-alatnya juga harus memadai untuk dapat menerapkan kurikulum 2013. Contoh saja keadaan di MTs. Fatahillah Bringin, laboratorium untuk pembelajaran IPA digunakan sebagai kelas. Problem ini menjadikan MTs. Fatahillah belum bisa menerapkan kurikulum 2013. Alternatifnya adalah persiapan menuju K-13 yang diimbangi dengan pemenuhan semua fasilitas yang mendukung dalam kegiatan pembelajaran.
Selain problema yang di alami MTs. Fatahillah, banyak juga sekolah yang mengalami hal serupa. Untuk dapat memenuhi semua fasilitas tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi sekolah berbasis swasta. Kemungkinan besar adalah akan memberatkan orang tua murid karena semua fasilitas sekolah dilimpahkan pada pembayaran SPP yang melambung tinggi. Pemerintah sanatlah berperan penting dalam perubahan kurikulum ini. Perubahan KTSP 2006 ke K-13 perlu diimbangi dengan pemenuhan fasilitas agar proses pembelajaran dapat berjalan dengan lancar.