Troso – Tradisi Jawa “Pak Ponjen” menjadi salah satu ritual adat pernikahan
Jawa yang dilakukan di desa Troso baru-baru ini. (20/04/2017) Orang Jawa
menyebutnya Pak Ponjen, berasal dari kata bahasa Arab فَازَ –
يَفُوْزُ –
فَوْزًا yang memiliki arti
kemenangan, sukses dan berhasil. Ma’ruf (39 th) mengartikan Pak Ponjen
merupakan tradisi Jawa yang memiliki tujuan mendo’akan dan memberi bekal atas
selesainya orang tua mengantarkan anak-anaknya ke jenjang pernikahan dari anak
paling sulung hingga paling bungsu. Pelaksanaannya pun pada acara pernikahan
anak bungsu (terakhir) sebagai tanda berakhirnya sebuah keluarga merayakan pesta
pernikahan atau mantu.
Tradisi yang sudah lama di-uri-uri ini selalu dinanti para
pe-ngiring manten untuk menyak-sikan dan ikut serta meramai-kannya.
Banyak hal menarik dari tradisi ini, mulai dari ramainya peserta, gelak canda
tawa yang menghiasi suasana, hingga peristiwa lucu seperti saling sodok antar
peserta (anak-anak hingga dewasa bahkan orang tua), saling injak, saling cakar (tanpa
kesengajaan) merebutkan recehan rupiah sehingga tak lagi ada perbedaan antara
kaya dan miskin. Semua peserta bersatu-padu dalam suasana bahagia seperti
kebahagiaan sepasang manten beserta keluarganya.
Ma’ruf
menjelaskan bahwa Pak Ponjen diawali dengan ritual mengitari gentong atau paso
berisi air yang ditutup tampah sebanyak tiga putaran. Ritual ini sebagai
simbol memberi bekal kepada masing-masing pasangan manten dari sulung sampai
bungsu yang semuanya telah dinikahkan. Ritual dipandu oleh pemuka adat setempat
dengan diiringi sholawat nabi sebagai realisasi keislaman. Sebelum mengitari
gentong, semua pasangan (secara berurutan dari pasangan anak paling sulung
hingga paling bungsu) yang telah dinikahkan saling memegang ujung baju.
Sedangkan orang tua dari anak-anak tersebut memimpin perjalanan mengitari
gentong. Sembari dipecuti, irama sholawat diperdengungkan pada prosesi
pertama ini. Dipecuti ini memiliki makna bahwa agar pembangunan rumah
tangga disertai dengan semangat yang membara (baik semangat dalam bekerja
maupun semangat hidup). Sebagai simbol semangat, “proses mecuti sebaiknya
dilakukan dengan keras.” Imbuh Ma’ruf.
Prosesi
kedua dilakukan saat setelah mengitari gentong, anak bungsu yang telah
dinikahkan segera menendang gentong berisi air hingga tumpah. Tak lama pemuka
adat menyebar (ngepyurke) uang sebagai simbol (bekal orang tua terhadap
anak) dibangunnya sebuah rumah tangga agar tumbuh harmonis. Cara penyebaran uang
dilakukan dengan arah ke depan dengan tujuan tolak-balak, menolak sangkakala dan
hal-hal yang dapat mengganggu kehidupan rumah tangga, Ucap Ma’ruf. Uang
tersebut dicampur dengan beras kuning dan disebar sebagai tanda rizqi yang
perlu dishodaqahkan. Banyak warga (peserta) berebut untuk mendapatkan recehan
rupiah dengan suasana ramai dan penuh kebahagiaan, seperti kebahagiaan yang
dialami pasangan yang baru menikah.
Sebagai
akhir prosesi adat Jawa bertajuk Islam, ditutuplah acara ini dengan do’a
memohon keselamatan. Do’a dapat dilakukan diawal maupun diakhir acara. Ma’ruf
menambahkan:
هُوَالْأَوَّلُ
وَالْآخِرُ وَالضَّا هِرُ وَهُوَ عَلى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْر
Permohonan do’a
keselamatan dapat dilakukan di awal, di tengah maupun di akhir. Pada intinya
adalah meminta keselamatan atas berakhirnya perayaan pesta pernikahan atau mantu.
Dalam
Info Seputar Jepara (02/07/2013) disebutkan bahwa Pak Ponjen merupakan tradisi
Jawa yang beradaptasi dengan Islam sebagai agama mayoritas di Jepara. Budaya
Jawa yang animistis magis bertemu dengan unsur budaya Islam yang monotheistis,
terjadilah pergumulan yang menghasilkan Jawa Islam yang sinkretis dan Islam
yang puritan. Di kalangan Jawa Islam inilah tumbuh dan berkembang perpaduan
budaya Islam Jawa yang memiliki ciri luar budaya itu menggunakan simpul Islam,
tetapi ruh budayanya adalah Jawa Sinkretis. Islam digambarkan sebagai wadah
sedang isinya adalah Jawa.
Laporan Hasil Interview dan Observasi
Budaya Jawa di Troso Pecangaan Jepara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar